Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tantangan dan Strategi untuk Pengawasan Pemilu 2024

 


Hari pemungutan suara akhirnya telah disepakati bersama antara KPU dengan Pemerintah, DPR, Bawaslu dan DKPP pada momentum rapat dengar pendapat 24 Januari 2022. Tanggal 14 Februari 2024 dipilih menjadi hari pemungutan suara Pemilu sedangkan 27 November 2024 dipilih menjadi hari pemungutan suara Pemilihan (Pilkada).

Proses penentuan hari pemungutan suara Pemilu menjadi yang paling lama sepanjang sejarah pemilu di Republik ini. Hal ini cukup dimaklumi karena Pemilu 2024 berhimpitan dengan agenda Pilkada serentak di tahun yang sama untuk semua daerah, sehingga butuh pertimbangan yang lebih matang.

Dengan dua agenda itu maka tahun 2024 akan menjadi tahun politik terbesar dalam sejarah kepemiluan di negara kita. Dan Pemilu 2024 akan menjadi agenda yang sangat strategis bagi perjalanan pemerintahan  ke depan.

Kesuksesan Pemilu 2024 bukan hanya akan berdampak instan bagi pelaksanaan Pilkada 2024 dan keberlanjutan pemerintahan nasional dan daerah, tetapi juga penting untuk mengukur sejauhmana perjalanan fase demokrasi di negeri ini yang berlangsung sejak transisi demokrasi di era reformasi.

Keterkibatan semua elemen bangsa untuk mengawal pelaksanaan pesta demokrasi ini menjadi sangat urgen untuk menghasilkan Pemilu dan Pilkada demokratis dan berintegritas. Tak terkecuali bagi Bawaslu sebagai lembaga pengawasan pemilu.

 

5 Tantangan Utama

Berkaca dari pengalaman pesta demokrasi sebelumnya, setiap pemilu memiliki tantangan yang berbeda. Demikian juga untuk Pemilu dan Pilkada mendatang. Setidaknya ada 5 (lima) tantangan utama penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024 mendatang.

Pertama, dasar hukum tidak mengalami perubahan di level undang-undang, dimana Pemilu dan Pilkada masing-masing menggunakan dasar UU 7 Tahun 2017 dan UU 6 Tahun 2020. Dengan ini, disatu sisi memberikan keuntungan karena adanya pengalaman pada event sebelumnya. Namun disisi lain memberikan gambaran persoalan yang pernah terjadi pada pemilu sebelumnya berpotensi terjadi kembali yang perlu dipikirkan mitigasinya, antara lain ancaman adanya korban jiwa terutama bagi petugas di level ad hoc terendah (KPPS dan Pengawas TPS) sebagaimana banyak terjadi pada Pemilu 2019 akibat beban kerja yang tinggi, (2) adanya celah hukum akibat konstruksi pengaturan di UU, dan (3) inkonsistensi nomenklatur pengaturan antara Pemilu dan Pilkada yang dapat membingungkan publik.

Kedua, melihat kondisi saat ini, setidaknya tahapan awal Pemilu akan dilangsungkan masih pada pandemi Covid -19. Berdasarkan pengalaman Pilkada 2020, beberapa persoalan yang muncul antara lain: (1) adanya resistensi penyelenggara, pemilih dan pihak lainnya karena Covid seperti penolakan massif KPPS Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul untuk dilakukan rapid tes menjelang hari pemungutan suara, (2)  sulitnya mencari pengawas pemilu adhoc, (3) membesarnya ruang politik uang akibat kondisi perekonomian yang masih lesu, dan (4) potensi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) untuk kepentingan elektoral akibat meningkatnya program pengaman sosial. 

Ketiga, irisan tahapan pemilu dan pemilihan karena penyelenggaran hari pemungutan suara di tahun yang sama. Bawaslu sendiri pernah mengidentifikasi adanya 10 bulan yang berpotensi terjadinya irisan tahapan yang berpotensi tingginya beban kerja penyelenggara pemilu.

Keempat, meningkatnya disinformasi seperti hoaks, politisasi sara dan ujaran kebencian (hate speech) seiring makin banyaknya penggunaan media sosial (medos) di era disrupsi informasi. Apalagi masa pandemi penggunaan medsos mengalami percepatan yang signifikan. Pengalaman Pilpres sebelumnya, mengkonfimasi akibat disinformasi ini bahkan sampai menimbulkan polarisasi masyarakat yang tajam dan lama serta dapat mengganggu harmoni dan bahkan iklim pelaksanaan pemilu yang damai.

Kelima, berkurangnya daya dukung pemerintah terutama terkait anggaran kepada penyelenggara pemilu akibat menurunnya kapasitas fiskal akibat pandemi. Kita tahu, beberapa tahun terakhir prioritas pembiayaan pemerintah banyak yang diberikan untuk menanggulangi Covid-19. Jika daya dukung pemerintah minimalis dikhawatirkan dapat menganggu agenda-agenda penyelenggara pemilu untuk menciptakan pemilu demokratis dan berintegritas.

Strategi

Melihat tantangan pemilu ke depan yang cukup berat, Bawaslu perlu memikirkan strategi yang tepat untuk menjawab tantangan itu. Hemat penulis, ada beberapa tawaran yang dapat dilakukan.

Pertama, melakukan upaya preventif diantaranya berupa pemetaan (mapping) atas semua potensi-potensi permasalah implikasi dari UU Pemilu dan Pilkada dengan disertai alternatif mitigasi atau solusi atas hal ini. Tingginya beban kerja penyelenggara pemilu akibat 5 (lima) kotak suara misalnya, harus secara serius dicari jalan keluar agar hal tersebut tidak lagi mengakibatkan korban jiwa. Perubahan UU secara terbatas, penyederhanaan surat suara, pemecahan beban kerja secara teknis di masa pemungutan dan penghitungan suara, pengetatan kualifikasi menjadi penyelenggara pemilu level ad hoc, kerjasama monitoring kesehatan dengan dinas Kesehatan terkait dapat ditempuh. Terkait dengan perbedaan nomenklatur dan ketidakselarasan pengaturan di UU mungkin bisa didorong dengan revisi terbatas, penyamaan persepsi antar penyelenggara pemilu dan juga stakeholder terkait, sosialisasi dan edukasi yang efektif dan massif.

Kedua, membangun kemitraan dan kolaborasi strategis dengan lembaga terkait untuk penyamaan persepsi, berbagi peran, kerjasama kelembagaan dan sinergisitas lainnya agak kerja-kerja pengawasan pemilu untuk menghasilkan pemilu yang demokratis dan berintegritas makin mudah terwujud. Selain lembaga-lembaga pemerintahan terkait dapat juga organisasi lainya seperti penyedia layanan medsos atau CSO.

Ketiga, mereview seluruh peraturan-peraturan pengawasan pemilu terutama terkait dengan tupoksi dan wewenang pengawas pemilu dengan melibatkan partisipasi publik. Dari ini diharapkan dapat dirumuskan revisi-revisi peraturan yang dibutuhkan agar tercipta kinerja pengawasan yang lebih efektif dengan mendasarkan pengalaman dan tantangan pengawasan pemilu.

Keempat, merevitalisasi dan mengintegrasikan berbagai sistem informasi pengawasan pemilu berbasiskan digital dengan berorientasi pada peningkatan efisiensi, efektifitas, partisipasi, keterbukaan, akuntabilitas dan meringankan beban kerja (fisik) pengawas pemilu. Sudah cukup banyak system informasi yang dibangun oleh lembaga ini, akan tetapi perlu review misalnya apakah sistem informasi yang ada telah efektif. Gowaslu misalnya, sistem pengawasan yang diharapkan dapat memudahkan masyarakat untuk menyampaikan informasi dugaan pelanggaran pemilu, sejauh pengalaman penulis, tidak banyak yang memanfaatkannya.

Kelima, membangun sistem peningkatan kapasitas yang memadai, terukur dan termonitor agar tercapai standar kapasitas tertentu yang perlu dimiliki pengawas pemilu pada setiap jenjang pengawas pemilu. Peningkatan kapasitas ini menyangkut semua aspek baik aspek profesionalitas (pengetahuan dan ketrampilan) maupun integritas. Dalam konteks ini, perlu mengembangkan sistem peningkatan kapasitas berbasis digital untuk melengkapi dan mudah digunakan pada sistem peningkatan kapasitas berbasis konvensional. Pengembangan tool yang makin praktis pada level di bawah seperti buku saku perlu dilakukan untuk membantu dan memudahkan kinerja pengawas adhoc.

Keenam, meningkatkan partisipasi publik yang lebih luas dan berkualitas dalam pengawasan pemilu. Inisiasi yang mendorong keterlibatan publik seperti melalui gerakan desa anti politik uang atau yang berbasiskan kelompok dan komunitas lainnya perlu diperluas agar tercipta gerakan masyarakat yang bisa mencegah potensi pelanggaran pemilu seperti politik uang, disinformasi, abuse of power, ketidaknetralan ASN dan lainnya. 

Ketujuh, menggunakan medsos sebagai media mainstream untuk melakukan sosialisasi dan pencegahan pengawasan pemilu. Fungsi medsos saat ini diyakini telah menjadi sarana yang paling efektif dan efisien di tengah derasnya penggunaan medsos di masyarakat. Jika diperlukan Bawaslu membentuk tim konten kreator khusus yang kuat untuk mengawal baik dari sisi konten, desain maupun dimensi entertaint sehingga konten yang dihasilkan selain menarik, “aman” juga berisi jika disajikan di berbagai platform medsos.


AKU Bagus Sarwono, lahir dan menempuh sekolah sampai tingkat SLTA di kota Rembang. Sebuah kota kecil di Provinsi Jawa Tengah Indonesia, yang marginal, miskin, tandus. Tapi aku "dibesarkan" di Yogyakarta. Setelah lulus tahun 2003, beberapa organisasi non-politik (NGO) merupakan tempat pengabdiannya, antara lain LAPPERA Indoensia, Sekolah Pembaruan Desa (SPD), Perhimpunan Permai. Dan Sekarang "mengabdi" kembali di lembaga Quasi Negara, Lembaga Ombudsman Daerah Provinsi DIY. Lembaga ini sangat konsen bagi upaya perbaikan pelayanan publik oleh Pemerintah.

Posting Komentar untuk "Tantangan dan Strategi untuk Pengawasan Pemilu 2024"

JASA BLOG MURAH CEPAT
JASA BLOG MURAH CEPAT